Pulau Sibandang, Surga Tersembunyi di Tengah Danau Toba

Pulau Sibandang, Surga Tersembunyi di Tengah Danau Toba
  • Kalau ke Danau Toba, di Sumatera Utara, jangan ketinggalan mengunjungi pulau yang satu ini. Pulau kecil yang berada di balik birunya air danau ini begitu indah. Sibandang, begitu nama ‘surga’ tersembunyi dengan daratan seluas 461 hektar ini.
  • Keliling Pulau Sibandang hanya setengah jam dengan sepeda motor. Di puncak pada ketinggian 910 mdpl, dari pulau ini bisa melihat pemandangan 360 derajat. Hamparan biru air Danau Toba, pulau-pulau dan daratan yang mengelilingi, serta kicauan merdu burung-burung membuat pemandangan dan suasana ini begitu menakjubkan.
  • Ada empat marga hidup di Pulau Sibandang ini. Marga Ompusunggu, Rajagukguk, Simaremare, dan Siregar. Raja-raja pembuka Sibandang membuat semacam perjanjian kekerabatan. Keempat marga itu disimbolkan dengan empat batang pohon hariara (beringin) yang tumbuh besar di dalam hutan, menambah suasana mistis.
  • Warga Pulau Sibandang hidup dari bertani, berkebun atau mencari ikan sebagai salah satu sumber protein. Sistem pertanian dan perkebunan di pulau ini mengandalkan air hujan. Tak ada sistem irigasi.

Kalau ke Danau Toba, tak ketinggalan sebagai target kunjungan adalah Pulau Samosir. Ia berada di tengah-tengah danau. Ternyata, tak hanya Samosir, ada pulau kecil lain yang tersembunyi di balik birunya air danau. Sibandang, begitu nama ‘surga’ tersembunyi dengan daratan seluas 461 hektar ini.

Penghuni di Pulau Sibandang sekitar 2.000 orang. Suasana desa tenang dan meneduhkan hati.

Kapal angkutan penyeberangan kayu bersandar di pelabuhan, menunggu penumpang dan barang, pagi itu. Kapal tradisional ini bisa mengangkut sepeda motor dan penumpang sekaligus, ongkos cuma Rp5.000 per orang sekali menyeberang.

Sibandang, merupakan pulau terbesar kedua setelah Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Secara administrasi, ia masuk Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Ia berbatasan dengan Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan, atau 45 menit dari Bandara Silangit.

Keliling Pulau Sibandang hanya setengah jam dengan sepeda motor. Di puncak ketinggian 910 mdpl, dari pulau ini bisa melihat pemandangan 360 derajat. Hamparan biru air Danau Toba, pulau-pulau dan daratan yang mengelilingi, kicauan merdu burung-burung membuat pemandangan dan suasana ini begitu menakjubkan.

Switno, warga Sibandang bercerita soal sejarah leluhur Batak, dan asal muasal penghuni pulau itu.

“Ada empat marga di sini. Ompusunggu, Rajagukguk, Simaremare, dan Siregar. Di pulau ini ada tiga desa, Desa Sibandang, Parsampuran, dan Papande,” kata lulusan Sastra Batak Universitas Sumatera Utara ini.

Raja-raja pembuka Sibandang membuat semacam perjanjian kekerabatan. Keempat marga itu disimbolkan dengan empat batang pohon hariara (beringin) yang tumbuh besar di dalam hutan, menambah suasana mistis.

Di setiap sudut, ada rumah-rumah Batak peninggalan leluhur. Sungguh eksotis.

Tanam kakao dan minum tuak

Ayok kita panen coklat dan bawang,” kata Switno.

Jalan menuju kebun menanjak, bisa ditempuh dengan sepeda motor sekitar lima menit dari rumah Switno.

Sepanjang perjalanan, kiri-kanan pohon-pohon besar seperti beringin, kemiri Toba, pinus, ingul/suren, mangga, aren, kelapa, sampai kopi.

Sesampainya di kebun, Ruth Rajagukuguk , adik Switno, sedang mengupas kakao. Dia mengeluarkan biji-biji kakao dari kulit, lalu dikumpulkan, dimasukkan ke dalam karung goni.

Warga pulau ini hidup dari bertani, berkebun atau mencari ikan sebagai salah satu sumber protein. Sistem pertanian dan perkebunan di pulau ini mengandalkan air hujan. Tak ada sistem irigasi.

Ada sekitar 50 pohon kakao keluarga Switno. Biji kakao terkumpul tiga karung goni. “Harga biji kalau sudah kering Rp26.000 per kg, ”kata Simbolon, ibu Switno.

Sehari-hari Simbolon mengepul hasil panen warga, seperti biji kopi, mangga, kemiri, bawang dan lain-lain. Dia jual berbagai hasil panen warga ini ke Balige, saat pasar pekan, setiap Jumat.

Keluarga Switno juga memanen bawang merah. Ada terkumpul tiga karung goni berukuran 100 kilogram.

Sore hari, Togi, pemuda desa, mengajak kami ke dalam hutan, menderes pohon aren buat jadi tuak. Paragat begitu sebutan lokal untuk penderes nira.

Setiap hari Togi memanjat pohon aren. Sore itu, dia menampung satu jerigen besar berukuran 25 liter untuk jual di warung dekat rumahnya.

Rumah keluarga Switno di pinggir danau. Mereka punya sampan kecil, dengan panjang sekitar tiga meter.

Sampan terbuat dari kayu ingul, biasa untuk menjaring ikan di danau. Jaring disebar pagi hari dan diambil pada sore hari. Sebagian besar ikan hasil tangkapan hanya untuk konsumsi rumah tangga.

Banyak juga pengunjung dari luar pulau, datang hanya untuk memancing ikan. Lumbangaol, menangkap ikan sambil menyelam dengan tombak dari kayu. “Gak dapat sejak pagi tadi menyelam, sekarang sudah payah dapat ikan,” katanya.

Menariknya, di pulau ini tak ada tambak-tambak ikan. Menurut Switno, semacam ada aturan sejak dulu melarang membuat tambak ikan. Tambak ikan, katanya, akan membuat air danau jadi kotor.

Ayah Switno, membuat puluhan jaring kecil berbahan kawat untuk menjerat ikan kecil berwarna merah. Ikan jadi santapan anjing-anjing peliharaan keluarga. Warga curiga ini bukan jenis ikan endemik Toba. Orang lokal menyebut jenis ikan ini lohan merah.

“Ini jenis ikan pemangsa, makan telur (bibit) mujair. Ntah siapa yang menebarnya, ” kata Switno.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *